Selamat Hari Ibu

Tanggal 22 Desember? Apasih, Cuma perayaan biasa tentang hari ibu. Gak wajib kan? Gak penting. Terserah pendapat masing-masing individu. Saya hanya ingin berbagi sedikit cerita.. tentang 22 Desember 2012.. iya, 2 tahun yang lalu.

“Kenapa, Neng? Dimarahin lagi sama mama kamu?” ibu bertanya.
Di hadapan rumahnya, di bawah dingin hujan di Sukabumi kala itu. Aku Cuma bisa menangis mengiyakan, 2 jam lamanya aku bersimpuh di bawah deras hanya untuk meluapkan kesalku. Hanya pada rumah kecil ini aku pergi setelah menjadi korban marahnya seorang mama. Hanya pada orang yang ku pandang saat ini, aku bisa menceritakan semuanya. Pada dia, wanita bermata indah, yang suaranya selembut angin.. yang tatapannya seteduh rindang pepohonan, Ibu angkatku… Ibu Yuni.. biasa ku panggil Mamah Ni.
“iya, mah.. neng mau tidur disini aja, mah” kataku berjalan masuk rumahnya.
“sana, ke kamar teteh.. mamah buatin dulu teh anget” katanya seperti biasa, menenangkan.
Aku mengeringkan tubuhku, menatap ringkih tubuh tuanya, sudah semakin rapuh saja semenjak penyakit gagal ginjal menggerogoti tubuhnya selama kurang lebih setahun lamanya.
Aku sangat tidak percaya dengan ketegarannya menahan sakit selama bertahun-tahun, dan sekarang.. di hadapanku, sedang membuatkan teh hangat.
“ini neng” dia membuka pembicaraan denganku sambil memberikan secangkir teh berasap.
“ih, si mamah.. atuh gorengannya sekalian, hehe” aku membalasnya dengan candaan kecil.
“eh kenapa atuh neng, kamu teh nangis malem-malem ih kayak kuntilanak wae” mama ni bertanya.
“biasa mah, si mama tadi marahin neng gara-gara lupa benahin kamar, kan kesel mah, kan neng teh lupa deui ih” cerocosku kesal.
Dia menjawabku ketus “atuhda kamu juga udah gadis, yang kayak gitu jangan dilupain, jadi gadis mah harus rapi”
“eh bentar, kok anak mamah teh makin cantik ya?”
Hehe. Jujur, Itu adalah ungkapan terbaik yang pernah ku dengar, entah jujur atau bukan. Ibu kandungku saja tak pernah bertutur serupa. Sebentar, aku lupa suatu hal.



Keputusanku pergi merantau ke pulau seberang meninggalkan banyak resiko yang harus ditanggung. Pertama, jauh dengan mama kandung, yah.. siapa lagi yang akan cerewet disana?
Kedua, suasana dingin ini, gak bisa aku rasain disana.
Dan
Ketiga, aku harus cari lagi orang baru yang bisa aku berbagi cerita dengannya. Aku pasti rindu mamah Ni.
Di Lampung, aku bersama ibu angkatku yang lain. Persis mama, cerewet… cerewet binggo.
Aku mulai lupa kabar ibu angkatku, mulai keasyikan bertemu teman baru, saudara baru tapi, bukan pacar baru.


Pertengahan tahun 2013
Ku terima pesan singkat, ibu angkatku (mamah ni) menyerah dari penyakitnya. Allah sudah menugaskan sang maut menjemputnya. Aku langsung pulang kampung. Aku dibuat kaku dan sangat melankolis dengan simpuhan persis Desember kala itu, perbedaannya hanyalah.. kali ini simpuhanku bukan di depan rumahnya, namun dihadapan tubuh kakunya. Aku tidak menangis, aku hanya terluka, terluka sangat dalam. Dalam, sangat dalam. Bahkan air mataku saja tidak dapat menggambarkannya.
Desember kala itu, sesuatu yang kulupa harus kubayar mahal. Sebuah kalimat “selamat hari ibu”, tergantikan oleh.. “selamat tinggal, ibu”.


19 Desember 2014
Menjelang hari ibu… itu berarti akan kuingat kembali detik-detik kehilangan itu, lagi. Luka itu, lagi. Tidak, bukan dengan tangisan ini, tapi tentang doa yang kututur dalam lirih. Buatku, ibu bukan sahabat, tapi lebih dari itu. Ibu bukan orang tua, tapi lebih dari itu. Ibu bukan keluarga, tapi lebih dari itu. Ibu adalah gelar tertinggi untuk seseorang dengan peran terbaik dalam hidup kamu.
Jangankan kehilangannya, melihat keriput yang sudah mengerut jelas saja sudah sangat menyedihkan. Jangan buat terlambat membahagiakannya, karena kita tidak akan pernah tahu… berapa lagi jatah detik yang Allah beri untuk mereka.
Selamat hari ibu, mama.. terimakasih.



Bandar Lampung,

Anakmu

Komentar